Skip to main content

Kopi dan Tanah Gayo


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
                  



Sumber: http://www.favimcoffee.com

                  Di kepalaku masih ingat betul, dimana bapak pada saat itu menelefon ibu dari kantornya  dan ibu mendadak histeris. Lalu beberapa jam  kemudian, suara mobil muncul dari halaman rumah. Aku lihat dari bilik jendela, 2 orang dengan badan yang kekar turun dari mobil Landrover . Mereka sempat berdebat panjang dengan ibu, ibu menangis suarannya terdengar seperti meminta penangguhan  waktu. Samar-samar, tapi aku mengerti apa yang diutarakan ibu pada saat itu. 2 lelaki yang  kekar tubuhnya itu tampak tak peduli, mereka memasang sebuah papan yang bertuliskan “Rumah ini Disita”.
Beberapa hari sebelum tanggal 18 mei 1998 dimana kericuhan terjadi, Jakarta berkobar, pemerintahan goyah, ekonomi morat-marit, ketika semua tak lagi tampak damai. Bapak mengajak kami semua untuk untuk pindah ke Pulau Sumatera. Aku sudah cukup dewasa memang, untuk memilih tinggal di Jakarta atau ikut bersama keluarga. Tapi, pilihan ku sudah bulat, aku akan ikut bapak dan Keluarga untuk pindah . Bapak adalah seorang PNS, ia merupakan Kepala Humas di Dinas Perhubungan, di balik itu bapak juga seorang pembisnis hingga pada akhirnya ia terjerat hutang yang sangat besar kepada cukong Cina dimana Ia harus menyelesaikan  itu semua hingga kami tak punya apa-apa.
Tepat pada tanggal 14 mei 1998, kami sekeluarga meninggalkan Jakarta, tidak ada lagi cerita di Cinere, tidak ada lagi canda tawa di kantin Fakultas Hukum Universitas Veteran, dan tidak ada lagi kisah kasih bersama Ikal di kedai kopi Frau Barus. Semua terbalut menjadi kenangan.
“Pak, kita akan kemana? Pulau sumatera itu kan luas.”
“Bapak tau fah, kita akan ke pulau sumatera yang paling ujung. Kita akan ke Sabang.”
“Sabang? maksud bapak Aceh?"
“Ia, kita ke Aceh tempat uwa mu.  Namanya Aisyah, tempat bapak dulu dibesarkan sebelum bapak merantau ke Jakarta."
“Bapak yakin kita akan ke Sabang menggunakan bus?"
“Kita harus menghemat nak, pesawat untuk berlima disaat kondisi krisis di negeri ini tidaklah murah, kau harus tau itu.  Sekarang waktunya berjuang di tengah kemiskinan."
Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan bapak, “Ditengah Kemiskinan” kata-kata itu selalu terngiang di kepalaku, aku benci kehidupan kota.
Tenyata, perjalanan menuju Sabang tidaklah singkat.  5 Hari dalam perjalanan aku  mendapat banyak pengalaman, di sepanjang perjalanan bapak memberitahu ku Setiap Provinsi yang di lewati, mulai setelah menyeberang dari Pelabuhan Tanjung Periok, Aku mengenal Provinsi Bandar Lampung, Sumatera selatan dengan Kota Palembang nya , Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatera Utara aku melewati itu semua. Hingga tiba di Kecamatan Brandan yaitu perbatasan Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam. 4 Jam setelah Brandan, Bus yang kami tompangi tiba di sebuah Terminal yang bertuliskan “ Selamat Datang di Bener Meriah, Aceh Timur.
Aku, Bapak, Ibu, serta dua  adik kembarku Lana dan Lani  turun dari bus yang kami naiki. Aku menggerek koper yang lumayan berat, begitu juga bapak sedangkan Ibu memapah kedua adik kembarku yang masih berumur 6 tahun. Setelah berjalan 10 menit keluar dari terminal bis, bapak menyetop sebuah angkot. bapak mencarter angkot itu, dan menunjukkan alamat kepada supir angkot. supir angkot mengangguk, seolah ia tau akan membawa keluarga ini kemana.
Disepanjang jalan dari Terminal Bener Meriah, aku melihat pemandangan yang indah, angin sepoi sesekali masuk dari bilik jendela angkot. Aku melihat banyak pohon, buahnya kecil bewarna kemerahan melekat disetiap daging pohonnya. Selama  2 Jam perjalanan pemandangan itu tidak ada habisnya. Hingga aku bertanya kepada bapak.
“Pak, ini perkebunan apa? Aku belum pernah melihat ini sebelumnya," tanyaku pada bapak dengan muka penuh penasaran. Tentu saja aku belum pernah  melihatnya, di Jakarta tidak ada seperti ini, semua disibukkan dengan pembangunan dan pembangunan kota. Terlebih lagi 18 tahun  hidup, aku tidak pernah keluar melihat dunia  luar selain Jakarta, pengecualian untuk Bandung aku pernah mengunjunginya beberapa kali jika Bapak ada tugas keluar kota, aku  senang ikut bapak.
            Bapak merespon pertanyaaku dengan  baik, bapak bilang itu semua adalah pohon kopi.
 "Kita sekarang berada di sebuah tanah, tanah yang salah satunya menjadi penghasil kopi terbesar dan terbaik di Indonesia."
“Nanti setelah kita tiba di rumah uwa,kita  coba kopi gayo ini bersama-sama."
Gayo. Kata-kata itu terngiang jelas di telingaku. Tidak asing lagi namanya, seperti ada yang pernah mengucapkannya. Gayo. Indah sekali, aku suka nama itu” Ucapku dalam  hati tanpa berfikir lagi kapan aku pernah mendengar kata itu sebelumnya. Angkot yang kami naiki masih terus menanjak dan menanjak, terlihat sangat indah pohon-pohon kopi yang masih muda-muda itu. Darisini saja, aku sudah merasakan  Harumnya biji kopi gayo ini.
Perjalanan menuju rumah uwak dari stasiun lumayan memakan waktu selama 3 Jam, kamipun tiba di Tanah Gayo. Dimana sebagian besar mata pencaharian kepala rumah tangganya adalah Petani Kopi. Setibanya di rumah yang cukup sederhana, bercat biru toska bapak memanggil-manggil dari luar rumah.
“Permisi.... Permisi....”
“Assalamualaikum."
Seorang wanita berperawakan setengah abad keluar,  masih telihat cantik. Hidungnya mancung, bola matanya lebar dan coklat, juga tinggi ,  memakai baju daster dan kerudung panjang. Mudanya ia pasti cantik,  kecantikan wanita aceh itu ternyata benar adanya, bukan mitos.
Uwa menunjukkan ekpresi yang tidak percaya, ia memeluk bapak. Mereka saling menitikkan air mata, uwa sudah tau apa yang terjadi. Bapak sempat menelfon sebelum ia pada akhirnya memilih Gayo untuk menjadi akhir dari tujuan kami.
Dirumah uwa, kami dijamu dengan baik , seharian uwa bercerita banyak hal tentang bapak dulu, bagaimana masa kanak-kanaknya, tentang keluarga bapak, bapak adalah anak satu-satunya, Ayah dan Ibunya telah tiada di renggut umur. Uwa satu-satunya sepupu yang ia kenal, sebenarnya banyak lagi namun mereka semua merantau , hanya uwa yang menetap di Gayo.
Uwa sudah menyiapkan satu rumah untuk bapak dan keluargaku. Rumah itu berada di ujung jalan, tidak jauh juga dari rumah uwa, dan masih termasuk dalam perkampungan ini. Rumahnya terletak disamping mushola. Kami pun langsung menempati rumah itu.
Beberapa minggu setelah menetap di Tanah Gayo, dengan banyak kesibukan, bapak dengan cepat beradaptasi. Ia mengajar di sebuah sekolah di desa ini, begitu juga dengan ibu ia membuka warung jajanan. Aku sendiri membuka bimbingan belajar kepada anak-anak karena rumah kami sangat dekat dengan  mushola aku juga mengajar ngaji anak-anak di desa itu.
Pada akhirnya di hari Minggu, bapak menepati janjinya kepadaku, seperti yang pernah ia katakan jika sudah dari rumah uwa  ia akan mengenalkanku kepada Kopi Gayo. Bapak mengajak ku berjalan-jalan mengelilingi kebun Kopi , mengunjungi pabrik pembuatan kopi, aku melihat proses nya mulai dari pemanenan buah kopi, penyortiran , penjemuran , pengupasan ,  pemanggangan , hingga terakhir penggilingan biji kopi.Aku merekan semuanya dalam ingatanku.
Setelah menyaksikan itu semua, bapak mengajakku ke sebuah warung kopi, namanya “ Kopi Tengku Gayo” Disini kopi arabika di racik sedemikian mungkin. Warung kopi ini sangat ramai sekali, banyak pendatang dari luar yang berkunjung hanya untuk sekedar menikmati kenikmatannya ada juga yang memborong hingga jutaan rupiah sebagai oleh-oleh atau dijual lagi. Aku yang baru saja jatuh cinta dengan kopi ini benar-benar ingin tahu lebih lanjut. Dan ingatan ku kembali pada Ikal, aku bahkan tidak pamit dahulu sebelum pindah kesini, aku tidak bercerita banyak hal, Aku baru ingat dia yang pernah bercerita tentang Gayo, di Cafe Frau Barus  tempat kami menghabiskan waktu sepulang dari kuliah. Ikal, sekarang kau menjadi sebagian dari kisah kataku dalam hati.
“Warungnya sederhana, rasa kopinya mendunia” Seseorang berkata, aku baru sadar ternyata bapak pindah ke meja sebelah, bercakap-cakap bersama teman-temannya di sekolah yang tak sengaja juga datang untuk ngopi di Minggu yang cerah ini.
“Eh, ya... apa? Ka, kamu ngomong apa tadi?” Kataku menatap kosong, bingung karena bapak tidak lagi duduk disampingku.
“Iyaa... warungnya sederhana, rasanya Mendunia,  Kamu tau kan, warung ini sederhana, tapi rasa kopinya sudah mendunia, kamu tau kan Kopi Gayo ini tidak hanya dikenal di Indonesia saja, tapi sampai ke luar negri.”
 Aku hanya mengangguk iya, dan mendengarkan  pemuda di depan ku ini berbicara. Sesekali aku ikut tersenyum juga karena lelucon dan guyonannya.
“Jadi kamu suka kopi Arabika atau Robusta?" Tanyanya.
“Aku suka Arabika.”  kataku.
“Exactly, sudah kuduga. Kamu memang mencerminkan itu semua, pecinta Arabika sangat suka dengan kesederhanaan, tradisional, anggun dan manis. Aku tidak sepenuhnya mengatakan jika karakter itu ada pada kamu, tapi aku bisa melihatnya."
“Kamu tau kepribadian seseorang berdasarkan kopi darimana? Dan kamu seperti seolah-olah tahu aku, kamu salah, aku tidak seperti itu, jangan merasa paling tahu.Aku baru mengenalmu tidak lebih dari 20 menit, hari ini kau duduk di depanku dengan guyonanmu yang tidak lucu sama sekali”.
“Hei, aku hanya ingin menghibur. Baiklah, aku minta maaf  jika terlalu berlebihan. Aku hanya butuh teman ngobrol. Aku belum tau namamu siapa, perkenalkan nama ku Tengku wen tarmulo.” sambil menyodorkan tangannya kepadaku. Aku menanggapinya, dan menjabat tangannya “
“Aku Cut Syarifah Mardhatillah” Nama yang bagus, katanya. Berhenti untuk berlebihan memuji, sahutku."
“Logat  mu berbeda, kamu pendatang ya disini?”
“Iya."

“Aku asli Banda Aceh, dan sekarang sedang berlibur ke tanah Gayo ini. Aku kuliah di Jakarta, tahu sendirikan di Jakarta sekarang sedang bagaimana, teman-temanku memilih untuk berdemo. Ibu melarangku, ia bilang tujuan ku kesana untuk kuliah. Walaupun sebenarnya aku malu berada diantara rasa nasionalisme teman-temanku. Aku malu, seperti orang pengecut. Ibu mengirimkan tiket pesawat pada tanggal 15 Mei, dan aku dipaksa pulang. Pilihan yang sulit, ibu bilang jika aku tidak pulang ibu akan bunuh diri. Lebih baik ia mati, daripada harus mendengar berita anak laki-laki satu-satunya itu gugur dalam demo di depan gedung MPR. Mau tidak mau aku harus pulang.
Ia bercerita banyak tentang dirinya, pandanganku tentang Wen pun berubah. Kami jadi bercerita banyak hal, kami bercerita tentang Jakarta, tentang perkuliahan, tentang apa saja, tentang kehidupanku, dan yang terpenting adalah tentang kopi gayo yang telah mempertemukan aku dengannya siang itu di warung kopi "Tengku Gayo".
Berjam-jam sudah kami menghabiskan waktu untuk ngobrol bersama, gelas yang berisi kopi hitam pekat yang diseduh secara perlahanpun habis. Bapak datang ke mejaku,” Ayo kita pulang fah, sudah sore.” Kata Bapak.
“Halo om, saya wen."
" Ohya, ya. Sudah sore, saya dan ipah harus pulang dulu"
 
Aku beranjak dari kursiku, “Sampai ketemu lagi Wen, Assalamualaikum.”
“Sampai ketemu juga ifah, waalaikumussalam.”
Semenjak pertemuan di Warung kopi wak Tengku , aku dan Wen terus berlanjut. Kami jadi sering bertemu, bertukar pengalaman, pengalaman Wen sangat banyak di dunia perkuliahan  Tentu saja, ia adalah mahasiswa semester akhir  sedangkan aku hanya mahasiswi yang baru masuk dan harus berhenti kuliah karena tuntutan dan kondisi orang tua ku yang terlilit hutang kepada cukong Cina.
Pertemuan kami terus berlanjut, kami  sering berkunjung ke warung kopi "Tengku Gayo", wak Tengku yang merupakan pemilik warung kopi itu mengizinkan kami untuk berkerja di warung kopinya. Walaupun aku sering menghabiskan waktu bersama Wen, tapi aku tidak lupa  kewajiban ku untuk mengajar anak-anak desa dan mengajar ngaji mereka. Aku masih ingat ketika bapak bilang “Berjuang Ditengah Kemiskinan” tapi aku sama sekali tidak meliat itu disini, aku melihat kesederhanaan dari petani-petani kopi, senyum merekah dari bibir mereka, aku melihat kekayaan dalam jiwa, kekayaan ditanah gayo ini.
2 Bulan sudah aku menghabiskan waktu bersama Wen, pertemanan kami tentunya tidak hanya sekedar pertemanan, tidak hanya sekedar persahabatan yang di pertemukan dengan 2 gelas hangat kopi gayo. 2 bulan juga aku belajar meracik kopi di warung kopi milik wak Tengku, Aku dan Wen mengerjakannya dengan  senang hati, melayani tamu yang datang baik lokal, mapun luar lokal.
“ Fah, aku ada sesuatu untukmu.”
“Apa, itu?”
“Ini, sambil menyodorkan buku dengan cover bewarna hijau.”
“ Ini buku apa?  Itu buku karya Maya Angelou, judulnya “I know why the caged Bird Sings.”
“Maya angelou? Siapa dia?”
“Dia itu seorang penulis puisi, skenario dan wanita Afrika-Amerika petama yang membacakan puisi dalam inagurasi Amerika Serikat pada tahun 1993."
Wen menjelaskan panjang lebar, aku semakin kagum dengannya. Ia cerdas, pintar, ia suka buku, ia suka sejarah, ia mengajarkanku banyak hal tentang sastra, kepribadian melalui kopi, tentunya tentang Kopi, kopi apapun itu Wen punya kisah sendiri untuk diceritakan di dalamnya. Wajar saja,  jika wen mengatakan Ia akan lulus 3,5 tahun  di Universitas Indonesia.
“Ini kenang-kenangan buat kamu  fah, sahabat gayo ku.”
Aku hanya tersenyum, dalam hatiku berkutik.” Sahabat....."
“Terimakasih wen.”
Seminggu sebelum kepulangan Wen ke Banda Aceh dan di awal September ,  sebelum ia berangkat Kembali ke  Jakarta.  Kami masih melakukan aktifitas seperti biasa, membantu wak Tengku melayani pelanggannya.
Pagi itu, seorang turis datang dan ingin menyicipi kopi Gayo. Aku bilang kepada wak Tengku, biar aku saja yang meraciknya. Setelah siap meracik, aku mengantarkan  kopi pesanan turis German itu. Ada yang beda, semua tampak diam dan tenyata di meja paling depan aku melihat Wen sedang memegang gitar.
“Sebuah lagu, untuk wanita yang berparaskan gayo, yang menggambarkan citra arabika. Wanita sederhana, manis, tradisional, anggun tentunya. Aku akan melantukan sebuah lagu.
                 Leavin On A jet Plane by  John Danver

All my bags are packed
I'm ready to go
I'm standin' here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye 


But the dawn is breakin'
It's early morn
The taxi's waitin'
He's blowin' his horn
Already I'm so lonesome
I could die


So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go
'Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again
Oh babe, I hate to go

Setelah ia selesai menyanyikan lagu itu, semua pengunjung bertepuk tangan. Aku berlari ka arah wen, aku memeluknya. “Kau juga laki-laki berparaskan Kopi Gayo wen, cerdas, tampan, tapi tetap sederhana dan sekarang membuat gadis tradisional ini menitikkan air mata. Wen memelukku dan mengusap kepalaku. There is always rainbow after the Heavy rain fah. 
“ Kamu selalu mengatakan itu kalau aku sudah mengeluh, dasar." Ketusku.

Seminggu berlalu setelah kejadian yang tak dapat dilupakan di warung kopi "Tengku Gayo", sekarang aku memulainya lagi tanpa Wen, aku tetap meracik kopi di warung kopi wak Tengku, aku semakin semangat untuk meracik kopi, mengenal  jenis-jenis kopi arabika, dan membuat variasi kopi dari Kopi Gayo. Aku tidak bisa melupakan wen, bagiku wen lebih dari sahabat. Selama ini perasaan yang lebih kepadanya aku simpan diam-diam. Biarkan ia mengalir seperti air, karna cinta tau kemana ia harus pulang.
Setahun setelah itu semua, tepatnya pada tahun 1999 keuangan bapak sudah mulai pulih, bapak tetap menerima gaji PNS nya. Bapak berencana,  bahwa kami akan kembali ke Jakarta, bapak menyuruhku untuk ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri. Sebulan, aku belajar mati-matian. Aku tidak akan kalah dari Wen, dan ketika pengumuman kelulusan. Aku dinyatakan lulus di Universitas Negri Jakarta dengan Jurusan  Ekonomi Pembangunan.
Di akhir Agustus 1999, aku dan keluarga pindah. Kami tinggal di JakartaSelatan, masih di te pat yang lama, setahun yang lalu. Bapak bilang agar aku tidak susah untuk beradaptasi lagi. Aku menjalani hari-hari menjadi mahasiswi seperti biasa, namun kopi Gayo tidak pernah lepas dari potongan-potongan kisah hidupku. Hingga suatu hari, aku bertekad untuk melamar menjadi sebuah Baristas di sebuah kafe yang terletak di daerah Kemang, Jakarta Barat, nama kafe itu “ Gayo Coffee” entah kenapa langkah menuntunku kesini.
Masih pagi sekali, tanganku mendorong dua pintu kaca yang bertuliskan “Open” aku mendorong pintu itu, masih hening, bersih. Aku mencari cari apakah ada orang disini. Hingga aku berhenti disebuah Stand Mic, aku melihat Laki-laki sedang memainkan gitar, dengan lagu yang tak asing. Aku terus mendengarkan ia menyanyikan lagu itu.



So kiss me and smile for me
 Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go
'Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again 
Oh babe, I hate to go


Hingga ia selesai memainkan gitarnya, lalu aku memanggil.

“Wen?”
Benar.  Ia adalah Wen, Wen yang setahun lalu bertemu dengan ku di Warung Kopi wak Tengku, wen yang berceritaa banyak hal tentang Kopi Gayo, Wen yang menebak-nebak kepribadianku  melalui kopi Gayo, Wen yang memberikan aku sebuah buku berbahasa inggris, yang membuat aku  bingung membacanya hingga sekarang, dan Wen yang menyanyikan lagu yang sama tepat setahun yang lalu.  Dia wen yang setahun lalu pamit, dan sekarang berada di hadapanku.
“Wen Tarmulo”
“Fah?” Syarifah Mardhatillah”
“Itu kamu?”  Tanyanya, ia bingung. "Kenapa bisa?”
“Bumi ini sempit dan cinta tau kemana ia harus pulang.”
Wen memelukku, sudah lama sekali katanya.
“ Kau masih sama, masih seperti Kopi Gayo “Harum, sederhana, dan tradisional.
Semenjak pertemuan itu, aku tidak lagi bersahabat dengan Wen , kami menjalin hubungan yang lebih. Kami mengolah Kafe “Gayo Coffee” Bersama. Wen mempercayaiku menjadi pengelolanya. Setahun tak bertemu, Wen masih sama,  ia tetap laki-laki cerdas yang sederhana, baik seperti Arabika.
Meminum segelas Kopi Gayo yang panas dan hitam ,  sama halnya menggambarkan perjalanan hidupku. Pahit, berjuang dengan kemiskinan di tengah reformasi dan gejolak negri ini. Panas dan meminumnya secara perlahan, itu seperti melalui semuanya secara bertahap. Menunggu  kopi itu dingin, seperti halnya kehilangan saat kepergian Wen dan menunggu dengan sabar hingga akhirnya dipertemukan kembali.

Bandung, 9 Agustus 2016






Comments

Popular posts from this blog

Essay & Analisis cerpen " The will of Allah"

Cerita pendek yang berjudul “ The will with Allah” itu bercerita tentang 2 orang yang bernama sule dan dogo dimana mereka adalah seorang perampok yang biasa merencanakan kejahatan terhadap sebuah rumah. Cerita ini berlatar tepatnya di Nigeria. Cerita ini ditulis oleh David Owoyele dimana david sendiir adalah seorang berkebangsaan Afrika dan pada tahun 70 david menulis cerita pendek ini dalam bahasa inggris, dan cerpen ini juga termasuk dalam Anglophonic ( Cerita yang berbahasa inggris dan bukan dari brtish).             Dalam cerita ini tokoh yang dilakoni oleh sule memiliki keyakinan yang kuat terhadap tuhannya, dimana ketika ia melakukan sesuatu, ia selaluu mengaitkannya dengan keyakinan. Bahkan saat ia ingin melakukan pencurian ia juga bahkan berpegang teguh terhadap keyakinannya, ia berprinsip bahwa hidup itu adalah kehendak allah dan pekerjaannya sebagai seorng perampok itu sudah dalam takdir tuhan. Dalam hidupnya ia sellau memasrahkan keadaan terhadapa tuhannya, misalnya

UTS Short Story BSI'13 UIN SGD BDG

Firly Yunanda Damanik 1135030088 Class-3C UTS 1.       A. “Indian camp” menceritakan tentang seorang anak   bernama Nick dan ayah nya yg berprofesi sebagai dokter yang sedang ingin pergi memancing. Ketika mereka berhenti disebuah danau, nick melihat ada sebuah percampingan dan diantara orang-orang camping itu salah satu dari mereka datang meminta pertolongan dan Nick un mendatangi ayah nya untuk menyampaikan jika ada diantara org yang berada di camp itu meminta pertolongan kepadanya.   Ayah Nick pun mendatangi camp tersebut, ternyata ada seorang wanita indian yg sedang akan melahirkan. Tanpa berfikir panjang ayah Nick langsung melakukan pertolongan kepada wanita indian tersebut hal itu disaksikan langsung oleh Nick. Nick bertanya pada ayahnya, apa yang terjadi pada wanita itu ayah, ayah nick mengatakan jika wanita itu akan melahirkan sebuah bayi, Ayah nick memerintahkan nick untuk segera mengambil air hangat dan keperluan sebagainya. Wanita yang ingin melahirkan tersbut t

Lantas, Kita Harus Bersyukur

            Setelah beberapa tahun yang lalu, masih sama di bulan ramadhan. Beda nya waktu itu bukan di depan umum, tapi secara pribadi seorang bapak yang datang kesekolah karena kasus anaknya yang selalu menggunakan sepatu bewarna , ternyata beliau tidak memiliki uang untuk membelikan sepatu, lalu curhatan demi curhatan pun muncul. Hari ini mungkin dalam waktu yang sama, dan lagi-lagi mungkin tuhan ingin menunjukkan seberapa besar kita harus bersyukur. Sore ini tepatnya dalam sebuah rapat pertemuan orang tua wali murid, guru yang bersangkutan dan murid kelas 6 SD. Pada saat itu, kebetulan aku diundang untuk mendampingi ibu   Nur dalam menyampaikan hasil Kelulusan Ujian Nasional.Aku duduk disebalah ibu Nur,ku lihat dari setiap sudut bola mata yang hadir di depan ku penuh cemas dan harapan. Ada harapan-harapan yang indah disana, terlebih harapan akankah buah hati mereka mampu merubah hidup yang penuh lika liku ini. Lalu setelah kata demi kata muncul dari ibu Nur, tibalah pada sesi a