Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Sumber: http://www.favimcoffee.com
Di kepalaku masih ingat betul,
dimana bapak pada saat itu menelefon ibu dari kantornya dan ibu mendadak histeris. Lalu beberapa jam kemudian, suara mobil muncul dari halaman
rumah. Aku lihat dari bilik jendela, 2 orang dengan badan yang kekar turun dari
mobil Landrover . Mereka sempat berdebat panjang dengan ibu, ibu menangis
suarannya terdengar seperti meminta penangguhan waktu. Samar-samar, tapi aku mengerti apa yang
diutarakan ibu pada saat itu. 2 lelaki yang kekar tubuhnya itu tampak tak peduli, mereka
memasang sebuah papan yang bertuliskan “Rumah ini Disita”.
Beberapa hari sebelum tanggal 18
mei 1998 dimana kericuhan terjadi, Jakarta berkobar, pemerintahan goyah,
ekonomi morat-marit, ketika semua tak lagi tampak damai. Bapak mengajak kami
semua untuk untuk pindah ke Pulau Sumatera. Aku sudah cukup dewasa memang,
untuk memilih tinggal di Jakarta atau ikut bersama keluarga. Tapi, pilihan ku
sudah bulat, aku akan ikut bapak dan Keluarga untuk pindah . Bapak adalah
seorang PNS, ia merupakan Kepala Humas di Dinas Perhubungan, di balik itu bapak
juga seorang pembisnis hingga pada akhirnya ia terjerat hutang yang sangat besar
kepada cukong Cina dimana Ia harus menyelesaikan itu semua hingga kami tak punya apa-apa.
Tepat pada tanggal 14 mei 1998,
kami sekeluarga meninggalkan Jakarta, tidak ada lagi cerita di Cinere, tidak
ada lagi canda tawa di kantin Fakultas Hukum Universitas Veteran, dan tidak ada
lagi kisah kasih bersama Ikal di kedai kopi Frau
Barus. Semua terbalut menjadi kenangan.
“Pak, kita akan kemana? Pulau
sumatera itu kan luas.”
“Bapak tau fah, kita akan ke
pulau sumatera yang paling ujung. Kita akan ke Sabang.”
“Sabang? maksud bapak Aceh?"
“Ia, kita ke Aceh tempat uwa mu. Namanya Aisyah, tempat bapak dulu dibesarkan
sebelum bapak merantau ke Jakarta."
“Bapak yakin kita akan ke Sabang
menggunakan bus?"
“Kita harus menghemat nak,
pesawat untuk berlima disaat kondisi krisis di negeri ini tidaklah murah, kau
harus tau itu. Sekarang waktunya
berjuang di tengah kemiskinan."
Aku
hanya mengangguk mendengar penjelasan bapak, “Ditengah Kemiskinan” kata-kata
itu selalu terngiang di kepalaku, aku benci kehidupan kota.
Tenyata, perjalanan menuju Sabang
tidaklah singkat. 5 Hari dalam
perjalanan aku mendapat banyak
pengalaman, di sepanjang perjalanan bapak memberitahu ku Setiap Provinsi yang
di lewati, mulai setelah menyeberang dari Pelabuhan Tanjung Periok, Aku
mengenal Provinsi Bandar Lampung, Sumatera selatan dengan Kota Palembang nya ,
Bengkulu, Jambi, Riau, Sumatera Utara aku melewati itu semua. Hingga tiba di Kecamatan
Brandan yaitu perbatasan Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam. 4 Jam
setelah Brandan, Bus yang kami tompangi tiba di sebuah Terminal yang bertuliskan
“ Selamat Datang di Bener Meriah, Aceh Timur.
Aku, Bapak, Ibu, serta dua adik kembarku Lana dan Lani turun dari bus yang kami naiki. Aku
menggerek koper yang lumayan berat, begitu juga bapak sedangkan Ibu memapah
kedua adik kembarku yang masih berumur 6 tahun. Setelah berjalan 10 menit
keluar dari terminal bis, bapak menyetop sebuah angkot. bapak mencarter angkot
itu, dan menunjukkan alamat kepada supir angkot. supir angkot mengangguk,
seolah ia tau akan membawa keluarga ini kemana.
Disepanjang jalan dari Terminal
Bener Meriah, aku melihat pemandangan yang indah, angin sepoi sesekali masuk
dari bilik jendela angkot. Aku melihat banyak pohon, buahnya kecil bewarna
kemerahan melekat disetiap daging pohonnya. Selama 2 Jam perjalanan pemandangan itu tidak ada
habisnya. Hingga aku bertanya kepada bapak.
“Pak, ini perkebunan apa? Aku
belum pernah melihat ini sebelumnya," tanyaku pada bapak dengan muka penuh
penasaran. Tentu saja aku belum pernah melihatnya, di Jakarta tidak ada seperti ini,
semua disibukkan dengan pembangunan dan pembangunan kota. Terlebih lagi 18
tahun hidup, aku tidak pernah keluar
melihat dunia luar selain Jakarta, pengecualian
untuk Bandung aku pernah mengunjunginya beberapa kali jika Bapak ada tugas
keluar kota, aku senang ikut bapak.
Bapak merespon pertanyaaku
dengan baik, bapak bilang itu semua
adalah pohon kopi.
"Kita sekarang berada di sebuah tanah, tanah yang salah satunya menjadi penghasil kopi terbesar dan terbaik di Indonesia."
"Kita sekarang berada di sebuah tanah, tanah yang salah satunya menjadi penghasil kopi terbesar dan terbaik di Indonesia."
“Nanti
setelah kita tiba di rumah uwa,kita
coba kopi gayo ini bersama-sama."
Gayo. Kata-kata itu terngiang
jelas di telingaku. Tidak asing lagi namanya, seperti ada yang pernah
mengucapkannya. Gayo. Indah sekali, aku suka nama itu” Ucapku dalam hati tanpa berfikir lagi kapan aku pernah
mendengar kata itu sebelumnya. Angkot yang kami naiki masih terus menanjak dan
menanjak, terlihat sangat indah pohon-pohon kopi yang masih muda-muda itu.
Darisini saja, aku sudah merasakan
Harumnya biji kopi gayo ini.
Perjalanan menuju rumah uwak dari
stasiun lumayan memakan waktu selama 3 Jam, kamipun tiba di Tanah Gayo. Dimana
sebagian besar mata pencaharian kepala rumah tangganya adalah Petani Kopi.
Setibanya di rumah yang cukup sederhana, bercat biru toska bapak
memanggil-manggil dari luar rumah.
“Permisi....
Permisi....”
“Assalamualaikum."
Seorang wanita berperawakan
setengah abad keluar, masih telihat cantik. Hidungnya mancung, bola matanya lebar dan coklat, juga tinggi , memakai baju daster dan kerudung panjang. Mudanya ia pasti cantik, kecantikan wanita aceh
itu ternyata benar adanya, bukan mitos.
Uwa menunjukkan ekpresi yang
tidak percaya, ia memeluk bapak. Mereka saling menitikkan air mata, uwa sudah
tau apa yang terjadi. Bapak sempat menelfon sebelum ia pada akhirnya memilih
Gayo untuk menjadi akhir dari tujuan kami.
Dirumah uwa, kami dijamu dengan
baik , seharian uwa bercerita banyak hal tentang bapak dulu, bagaimana masa
kanak-kanaknya, tentang keluarga bapak, bapak adalah anak satu-satunya, Ayah
dan Ibunya telah tiada di renggut umur. Uwa satu-satunya sepupu yang ia kenal,
sebenarnya banyak lagi namun mereka semua merantau , hanya uwa yang menetap di
Gayo.
Uwa sudah menyiapkan satu rumah
untuk bapak dan keluargaku. Rumah itu berada di ujung jalan, tidak jauh juga
dari rumah uwa, dan masih termasuk dalam perkampungan ini. Rumahnya terletak
disamping mushola. Kami pun langsung menempati rumah itu.
Beberapa minggu setelah menetap
di Tanah Gayo, dengan banyak kesibukan, bapak dengan cepat beradaptasi.
Ia mengajar di sebuah sekolah di desa ini, begitu juga dengan ibu ia membuka
warung jajanan. Aku sendiri membuka bimbingan belajar kepada anak-anak karena
rumah kami sangat dekat dengan mushola aku
juga mengajar ngaji anak-anak di desa itu.
Pada akhirnya di hari Minggu, bapak
menepati janjinya kepadaku, seperti yang pernah ia katakan jika sudah dari
rumah uwa ia akan mengenalkanku kepada
Kopi Gayo. Bapak mengajak ku berjalan-jalan mengelilingi kebun Kopi ,
mengunjungi pabrik pembuatan kopi, aku melihat proses nya mulai dari pemanenan buah
kopi, penyortiran , penjemuran , pengupasan , pemanggangan , hingga
terakhir penggilingan biji kopi.Aku merekan semuanya dalam ingatanku.
Setelah menyaksikan itu semua, bapak
mengajakku ke sebuah warung kopi, namanya “ Kopi Tengku Gayo” Disini kopi arabika di racik sedemikian mungkin. Warung kopi ini sangat ramai sekali,
banyak pendatang dari luar yang berkunjung hanya untuk sekedar menikmati
kenikmatannya ada juga yang memborong hingga jutaan rupiah sebagai oleh-oleh
atau dijual lagi. Aku yang baru saja jatuh cinta dengan kopi ini benar-benar
ingin tahu lebih lanjut. Dan ingatan ku kembali pada Ikal, aku bahkan tidak
pamit dahulu sebelum pindah kesini, aku tidak bercerita banyak hal, Aku baru
ingat dia yang pernah bercerita tentang Gayo, di Cafe Frau Barus tempat kami
menghabiskan waktu sepulang dari kuliah. Ikal, sekarang kau menjadi sebagian
dari kisah kataku dalam hati.
“Warungnya sederhana, rasa
kopinya mendunia” Seseorang berkata, aku baru sadar ternyata bapak pindah ke
meja sebelah, bercakap-cakap bersama teman-temannya di sekolah yang tak sengaja
juga datang untuk ngopi di Minggu yang cerah ini.
“Eh, ya... apa? Ka, kamu ngomong
apa tadi?” Kataku menatap kosong,
bingung karena bapak tidak lagi duduk disampingku.
“Iyaa... warungnya sederhana,
rasanya Mendunia,” Kamu tau kan, warung ini sederhana, tapi rasa
kopinya sudah mendunia, kamu tau kan Kopi Gayo ini tidak hanya dikenal di
Indonesia saja, tapi sampai ke luar negri.”
Aku hanya mengangguk iya, dan
mendengarkan pemuda di depan ku ini
berbicara. Sesekali aku ikut tersenyum juga karena lelucon dan guyonannya.
“Jadi kamu suka kopi Arabika atau
Robusta?" Tanyanya.
“Aku suka Arabika.” kataku.
“Exactly, sudah kuduga. Kamu memang mencerminkan
itu semua, pecinta Arabika sangat suka dengan kesederhanaan, tradisional,
anggun dan manis. Aku tidak sepenuhnya mengatakan jika karakter itu ada pada
kamu, tapi aku bisa melihatnya."
“Kamu tau kepribadian seseorang
berdasarkan kopi darimana? Dan kamu seperti seolah-olah tahu aku, kamu salah,
aku tidak seperti itu, jangan merasa paling tahu.Aku baru mengenalmu tidak
lebih dari 20 menit, hari ini kau duduk di depanku dengan guyonanmu yang tidak
lucu sama sekali”.
“Hei, aku hanya ingin menghibur.
Baiklah, aku minta maaf jika terlalu
berlebihan. Aku hanya butuh teman ngobrol. Aku belum tau namamu siapa, perkenalkan
nama ku Tengku wen tarmulo.” sambil menyodorkan tangannya kepadaku. Aku
menanggapinya, dan menjabat tangannya “
“Aku Cut Syarifah Mardhatillah”
Nama yang bagus, katanya. Berhenti untuk berlebihan memuji, sahutku."
“Logat mu berbeda, kamu pendatang ya disini?”
“Iya."
“Aku asli Banda Aceh, dan sekarang sedang berlibur ke tanah Gayo ini. Aku kuliah di Jakarta, tahu sendirikan di Jakarta sekarang sedang bagaimana, teman-temanku memilih untuk berdemo. Ibu melarangku, ia bilang tujuan ku kesana untuk kuliah. Walaupun sebenarnya aku malu berada diantara rasa nasionalisme teman-temanku. Aku malu, seperti orang pengecut. Ibu mengirimkan tiket pesawat pada tanggal 15 Mei, dan aku dipaksa pulang. Pilihan yang sulit, ibu bilang jika aku tidak pulang ibu akan bunuh diri. Lebih baik ia mati, daripada harus mendengar berita anak laki-laki satu-satunya itu gugur dalam demo di depan gedung MPR. Mau tidak mau aku harus pulang.”
Ia bercerita banyak tentang
dirinya, pandanganku tentang Wen pun berubah. Kami jadi bercerita banyak hal,
kami bercerita tentang Jakarta, tentang perkuliahan, tentang apa saja, tentang
kehidupanku, dan yang terpenting adalah tentang kopi gayo yang telah
mempertemukan aku dengannya siang itu di warung kopi "Tengku Gayo".
Berjam-jam sudah kami
menghabiskan waktu untuk ngobrol bersama, gelas yang berisi kopi hitam pekat
yang diseduh secara perlahanpun habis. Bapak datang ke mejaku,” Ayo kita pulang
fah, sudah sore.” Kata Bapak.
“Halo om, saya wen."
" Ohya, ya. Sudah sore, saya dan ipah harus pulang dulu"
" Ohya, ya. Sudah sore, saya dan ipah harus pulang dulu"
Aku beranjak dari kursiku,
“Sampai ketemu lagi Wen, Assalamualaikum.”
“Sampai ketemu juga ifah,
waalaikumussalam.”
Semenjak pertemuan di Warung kopi
wak Tengku , aku dan Wen terus berlanjut. Kami jadi sering bertemu, bertukar
pengalaman, pengalaman Wen sangat banyak di dunia perkuliahan Tentu saja, ia adalah mahasiswa semester akhir
sedangkan aku hanya mahasiswi yang baru
masuk dan harus berhenti kuliah karena tuntutan dan kondisi orang tua ku yang
terlilit hutang kepada cukong Cina.
Pertemuan kami terus berlanjut, kami
sering berkunjung ke warung kopi "Tengku
Gayo", wak Tengku yang merupakan pemilik warung kopi itu mengizinkan kami untuk
berkerja di warung kopinya. Walaupun aku sering menghabiskan waktu bersama Wen,
tapi aku tidak lupa kewajiban ku untuk mengajar anak-anak desa dan mengajar
ngaji mereka. Aku masih ingat ketika bapak bilang “Berjuang Ditengah Kemiskinan”
tapi aku sama sekali tidak meliat itu disini, aku melihat kesederhanaan dari
petani-petani kopi, senyum merekah dari bibir mereka, aku melihat kekayaan
dalam jiwa, kekayaan ditanah gayo ini.
2 Bulan sudah aku menghabiskan
waktu bersama Wen, pertemanan kami tentunya tidak hanya sekedar pertemanan,
tidak hanya sekedar persahabatan yang di pertemukan dengan 2 gelas hangat kopi gayo. 2 bulan juga aku belajar meracik kopi di warung kopi milik wak Tengku, Aku dan Wen mengerjakannya dengan senang
hati, melayani tamu yang datang baik lokal, mapun luar lokal.
“ Fah, aku ada sesuatu untukmu.”
“Apa, itu?”
“Ini, sambil menyodorkan buku dengan
cover bewarna hijau.”
“ Ini buku apa? Itu buku karya Maya Angelou, judulnya “I
know why the caged Bird Sings.”
“Maya angelou? Siapa dia?”
“Dia itu seorang penulis puisi,
skenario dan wanita Afrika-Amerika petama yang membacakan puisi dalam inagurasi
Amerika Serikat pada tahun 1993."
Wen menjelaskan panjang lebar,
aku semakin kagum dengannya. Ia cerdas, pintar, ia suka buku, ia suka sejarah,
ia mengajarkanku banyak hal tentang sastra, kepribadian melalui kopi, tentunya
tentang Kopi, kopi apapun itu Wen punya kisah sendiri untuk diceritakan di
dalamnya. Wajar saja, jika wen
mengatakan Ia akan lulus 3,5 tahun di
Universitas Indonesia.
“Ini kenang-kenangan buat kamu fah, sahabat gayo ku.”
Aku hanya tersenyum, dalam
hatiku berkutik.” Sahabat....."
“Terimakasih wen.”
Seminggu sebelum kepulangan Wen
ke Banda Aceh dan di awal September ,
sebelum ia berangkat Kembali ke Jakarta.
Kami masih melakukan aktifitas seperti biasa, membantu wak Tengku
melayani pelanggannya.
Pagi itu, seorang turis datang
dan ingin menyicipi kopi Gayo. Aku bilang kepada wak Tengku, biar aku saja yang
meraciknya. Setelah siap meracik, aku mengantarkan kopi pesanan turis German itu. Ada yang beda,
semua tampak diam dan tenyata di meja paling depan aku melihat Wen sedang
memegang gitar.
“Sebuah lagu, untuk wanita yang
berparaskan gayo, yang menggambarkan citra arabika. Wanita sederhana, manis,
tradisional, anggun tentunya. Aku akan melantukan sebuah lagu.
Leavin
On A jet Plane by John Danver
All my bags are packed
I'm ready to go
I'm standin' here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye
But the dawn is breakin'
It's early morn
The taxi's waitin'
He's blowin' his horn
Already I'm so lonesome
I could die
So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go
'Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again
Oh babe, I hate to go
Setelah ia selesai menyanyikan
lagu itu, semua pengunjung bertepuk tangan. Aku berlari ka arah wen, aku memeluknya.
“Kau juga laki-laki berparaskan Kopi Gayo wen, cerdas, tampan, tapi tetap sederhana
dan sekarang membuat gadis tradisional ini menitikkan air mata. Wen memelukku
dan mengusap kepalaku. “There is always
rainbow after the Heavy rain fah.
“ Kamu selalu mengatakan itu kalau aku sudah mengeluh, dasar." Ketusku.
“ Kamu selalu mengatakan itu kalau aku sudah mengeluh, dasar." Ketusku.
Seminggu berlalu setelah kejadian
yang tak dapat dilupakan di warung kopi "Tengku Gayo", sekarang aku memulainya
lagi tanpa Wen, aku tetap meracik kopi di warung kopi wak Tengku, aku semakin
semangat untuk meracik kopi, mengenal
jenis-jenis kopi arabika, dan membuat variasi kopi dari Kopi Gayo. Aku
tidak bisa melupakan wen, bagiku wen lebih dari sahabat. Selama ini perasaan
yang lebih kepadanya aku simpan diam-diam. Biarkan ia mengalir seperti air,
karna cinta tau kemana ia harus pulang.
Setahun setelah itu semua,
tepatnya pada tahun 1999 keuangan bapak sudah mulai pulih, bapak tetap menerima
gaji PNS nya. Bapak berencana, bahwa
kami akan kembali ke Jakarta, bapak menyuruhku untuk ikut Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negri. Sebulan, aku belajar mati-matian. Aku tidak akan kalah dari Wen,
dan ketika pengumuman kelulusan. Aku dinyatakan lulus di Universitas Negri
Jakarta dengan Jurusan Ekonomi
Pembangunan.
Di akhir Agustus 1999, aku dan keluarga
pindah. Kami tinggal di JakartaSelatan, masih di te pat yang lama, setahun
yang lalu. Bapak bilang agar aku tidak susah untuk beradaptasi lagi. Aku
menjalani hari-hari menjadi mahasiswi seperti biasa, namun kopi Gayo tidak
pernah lepas dari potongan-potongan kisah hidupku. Hingga suatu hari, aku
bertekad untuk melamar menjadi sebuah Baristas di sebuah kafe yang terletak di
daerah Kemang, Jakarta Barat, nama kafe itu “ Gayo Coffee” entah kenapa langkah
menuntunku kesini.
Masih pagi sekali, tanganku
mendorong dua pintu kaca yang bertuliskan “Open” aku mendorong pintu itu, masih
hening, bersih. Aku mencari cari apakah ada orang disini. Hingga aku berhenti
disebuah Stand Mic, aku melihat
Laki-laki sedang memainkan gitar, dengan lagu yang tak asing. Aku terus
mendengarkan ia menyanyikan lagu itu.
So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go
'Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again
Oh babe, I hate to go
Hingga ia selesai memainkan gitarnya, lalu aku memanggil.
“Wen?”
Benar. Ia adalah Wen, Wen yang setahun lalu bertemu
dengan ku di Warung Kopi wak Tengku, wen yang berceritaa banyak hal tentang
Kopi Gayo, Wen yang menebak-nebak kepribadianku
melalui kopi Gayo, Wen yang memberikan aku sebuah buku berbahasa
inggris, yang membuat aku bingung
membacanya hingga sekarang, dan Wen yang menyanyikan lagu yang sama tepat
setahun yang lalu. Dia wen yang setahun
lalu pamit, dan sekarang berada di hadapanku.
“Wen Tarmulo”
“Fah?” Syarifah Mardhatillah”
“Itu kamu?” Tanyanya, ia bingung. "Kenapa bisa?”
“Bumi ini sempit dan cinta tau
kemana ia harus pulang.”
Wen memelukku, sudah lama sekali
katanya.
“ Kau masih sama, masih seperti
Kopi Gayo “Harum, sederhana, dan tradisional.”
Semenjak pertemuan itu, aku tidak
lagi bersahabat dengan Wen , kami menjalin hubungan yang lebih. Kami mengolah
Kafe “Gayo Coffee” Bersama. Wen mempercayaiku menjadi pengelolanya. Setahun tak
bertemu, Wen masih sama, ia tetap laki-laki
cerdas yang sederhana, baik seperti Arabika.
Meminum segelas Kopi Gayo yang panas
dan hitam , sama halnya menggambarkan
perjalanan hidupku. Pahit, berjuang dengan kemiskinan di tengah reformasi dan
gejolak negri ini. Panas dan meminumnya secara perlahan, itu seperti melalui
semuanya secara bertahap. Menunggu kopi
itu dingin, seperti halnya kehilangan saat kepergian Wen dan menunggu dengan sabar hingga akhirnya
dipertemukan kembali.
Bandung, 9 Agustus 2016
Comments
Post a Comment