Langit di atas tanahku tak berwarna
biru. Awan kelabu memayungi selaksa raya. Dulu aku selalu berharap agar
hujan meluahkan tangisnya. Hujan menangis? Tentu. Tak hanya langit saja
yang bisa melakukannya, hujan pun bisa. Hujan tak hanya menurunkan
airmatanya lebih deras dari biasanya tetapi menyertakan jeritan getir
sakitnya melalui halilintar yang mengelegar.
Hujan, aku selalu menyambutmu. Bila bulir-bulir pertama memainkan
harmony di atas gentingku, aku akan menari bersamamu. Namun, hari ini
tidak begitu inginku. Aku memilih duduk termangu, memutar balik sebuah
puzle kehidupan yang melibatkan getar rasa dan juga asa.
Kamu, Awan. Kemarin aku masih menunggu
pesanmu yang menanyakan kabar hatiku, kabar imanku, … atau-atau menerima
permintaanmu untuk selalu menjaga diriku dan menjaga imanku. Masih
ingatkah dengan hal itu? Mungkin kamu telah lupa. Karena kemarin itu
hakikatnya sangat lama. Bisa sehari yang lalu, sebulan yang lalu,
setahun yang lalu atau di kehidupan yang lalu.
Tapi, aku masih ingat bunyi pesanmu waktu itu;
“Bila lelah, tataplah senja. Maka kamu akan merasa damai karenanya.
Tak perlu takut padanya meski pelan-pelan ia akan menggelar pekatnya
jelaga. Bukankah dengan kegelapan malam kamu bisa menikmati kelip
bintang dari surga. Kata eyang, bintang di angkasa adalah titisan
roh-roh suci yang diutus Tuhan untuk menerangi kegelapan hati manusia di
dunia. Bintang bisa pula reinkarnasi leluhur, keluarga, atau sahabat
kita yang lebih dulu berpulang kepadaNya. Ucapkan salam. Bila ia akan
berkedip padamu, ketahuilah, bintang itu adalah belahan hatimu yang kamu
rindu.”
Awan, hujan sore ini terus turun sangat deras. Senja dan malam
berbintang sepertinya enggan menyapa. Apakah senja di langitmu
memancarkan warna orange? Bila iya, tunggulah beberapa saat hingga
bintang menyapa. Mungkin kamu bisa menemukan bintang dari tititsan ruh
seseorang yang kamu rindu itu. Bukan dengan jari kamu menemukannya, tapi
dengan hati dan satu kedipannya. Bila kamu tak menemukannya, tolong
sampaikan salamku untuk senja dan bintang yang memenuhi langitmu.
Namun, manakala langit kita sama kelabunya, percayalah, esok pasti
pasti pasti cerah akan tiba. Dan untuk senja hari ini, biarkan ia
membawamu untuk beristirahat. Biarkan ia melepaskanmu dari penat.
“Mana boleh kita menyuruh Tuhan, Na? Kepastian adalah kuasaNya.”
“Tapi kita harus yakin bahwa Dia pasti mengabulkan doa kita, tidak mesti sekarang tapi bisa juga nanti, bukan?”
Awan, hitam malam akan kembali membawa kita pada semburat orange
fajar. Di sana ada percikan asa yang menunggu tangan-tangan kita
merangkainya menjadi nyata. Bahwa impian semalam musti kita wujudkan.
Namun kenyataannya, aku dan kamu itu seperti senja dan fajar. Senja
dan fajar sama-sama memiliki warna orange, sama-sama menjadi pembatas
gelap dan terang, sama-sama menjadi lintasan waktu para malaikat
menyerahkan laporannya kepada Tuhan. Sayangnya, senja dan fajar tak
pernah bersatu dalam satu waktu. Aku dengan mimpiku, kamu dengan
mimpimu.
Comments
Post a Comment